
MAJENE – Kasus dugaan pelecehan seksual yang menyeret seorang kepala sekolah di SMA Negeri 2 Majene terhadap siswinya, memantik reaksi keras dari berbagai kalangan.
Salah satunya datang dari Ketua Korps HMI-Wati (Kohati) Cabang Majene, Nur Atika, yang menegaskan pentingnya pengusutan tuntas oleh aparat penegak hukum demi menjaga martabat dunia pendidikan dan melindungi korban.
Dalam pernyataannya, Nur Atika menyampaikan keprihatinan mendalam atas terkuaknya kasus yang saat ini sedang dalam penyelidikan Polres Majene.
Ia menegaskan, sekolah semestinya menjadi ruang aman bagi siswa untuk menuntut ilmu dan mengembangkan diri, bukan justru menjadi tempat yang menimbulkan rasa takut dan trauma.
“Kami mengecam keras perbuatan yang mencederai dunia pendidikan ini. Sekolah seharusnya menjadi tempat yang ramah anak, bukan ruang ancaman. Kami mendesak pihak kepolisian untuk bekerja secara profesional dan transparan agar kasus ini tidak terhenti di tengah jalan,” tegas Nur Atika, Sabtu (13/9/2025).
Lebih jauh, Kohati Majene juga menyoroti pentingnya pemulihan psikologis bagi korban yang masih duduk di bangku sekolah. Trauma yang dialami, menurutnya, bisa berdampak panjang terhadap masa depan pendidikan dan perkembangan mental korban.
“Penegakan hukum memang penting, tetapi jangan lupakan pemulihan psikologis anak. Negara wajib hadir melalui layanan konseling, rehabilitasi, serta pendampingan yang layak,” tambahnya.
Kasus dugaan pelecehan seksual di Majene ini tidak bisa dipandang ringan. Secara hukum, terdapat sejumlah regulasi yang menegaskan perlindungan terhadap anak, di antaranya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang menegaskan bahwa setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari kekerasan fisik, psikis, maupun seksual (Pasal 76C).
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), yang mengatur secara khusus tindak pidana kekerasan seksual, termasuk pelecehan, dengan ancaman hukuman berat bagi pelaku.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, yang mengamanatkan sekolah wajib menciptakan lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan bebas dari kekerasan.
Dengan dasar hukum tersebut, aparat penegak hukum di Majene diminta untuk tidak hanya menindak secara pidana, tetapi juga mendorong mekanisme perlindungan korban sesuai regulasi yang berlaku.
Kasus ini sekaligus menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan di Majene. Publik berharap pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Barat dan pihak sekolah mampu memberikan jaminan bahwa lingkungan sekolah tetap aman. Tidak hanya itu, penting pula adanya pengawasan berlapis terhadap tenaga pendidik maupun pimpinan sekolah.
Nur Atika menegaskan, Kohati Majene akan terus mengawal jalannya penyelidikan kasus ini hingga tuntas. “Kami tidak ingin kasus ini dianggap angin lalu. Pendidikan adalah gerbang masa depan, dan gerbang itu harus dijaga dari segala bentuk pelecehan dan kekerasan,” pungkasnya.